logo
Back to List
Artikel

Perubahan Kelima UUD 1945 belum dibutuhkan

thumbnail

Pendahuluan

Perubahan UUD 1945 yang telah berlangsung 4 kali, dari tahun 1999 sampai dengan 2002,  membawa banyak kemajuan dibidang politik, antara lain: Konstitusi menjamin hak asasi manusia; hak-hak politik dan kebebasan sipil dipenuhi; kebebasan pers dijamin; pemilihan umum berlangsung adil, bebas, kompetitif dan berkala; Presiden, gubernur, bupati, walikota, dan semua anggota legislatif dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum; militer mundur dari politik; dan mekanisme  checks and balances berjalan lancar dan stabil. Ditinjau dari perspektif peradaban, revolusi politik di Indonesia telah berhasil mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa merdeka; dan menyelenggarakan suatu negara kebangsaan, yaitu Republik Indonesia yang demokrasi, damai dan stabil; dan kemajuan ini adalah suatu prestasi besar, yang belum dapat diwujudkan oleh banyak negara di bumi ini. Sayangnya,  akhir-akhir ini muncul dengan cukup kuat wacana untuk amandemen UUD 1945, dengan berbagai alasan, antara lain: untuk menghidupkan kembali GBHN; untuk mewujudkan kesetaraan DPR RI dengan DPD RI; dan bahkan ada yang menginginkan kembali ke UUD 1945 sebelum Perubahan.

          Saya berpendapat bahwa UUD 1945 yang telah mengalami 4 kali perubahan ini telah cukup baik untuk membuat proses kenegaraan menjadi demokratis, damai dan stabil. Pemilihan legislatif, Pemilihan Presiden, dan pemilihan kepala daerah telah berlangsung beberapa kali, secara berkala, damai dan adil. Masyarakat antusias mengikuti pemilihan umum, karena mengetahui bahwa suara yang mereka berikan menentukan calon yang akan terpilih. Mekanisme checks and balances  berjalan lancar dan mantap; dan pada tahun 2016 yang lalu membuat suatu putusan yang fenomenal. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 telah memutuskan, bahwa dalam perkataan “agama” dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan termasuk “kepercayaan”, dan oleh karena itu Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dimasukkan ke dalam kolom agama Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga dan berbagai dokumen kependudukan lainnya.  Dan dengan demikian hak-hak warga Penghayat Kepercayaan sama dengan hak-hak  penganut Agama. Ini berarti, benteng terakhir diskriminasi di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia telah dirobohkan. Tulisan ini akan memberi sedikit argumentasi, mengapa amandemen UUD 1945 sekarang ini belum dibutuhkan.  

Rakyat tidak membutuhkan GBHN.

GBHN tidak kita butuhkan, karena UUD 1945 telah cukup untuk menjamin proses penyelenggaraan negara Republik Indonesia berjalan sesuai dengan kehendak rakyat Indonesia. Kalau DPR dan Presiden membuat suatu undang-undang yang memiliki bagian yang bertentangan dengan UUD 1945, warganegara bisa mengajukan uji materi UU tersebut terhadap UUD 1945, ke Mahkamah Konstitusi. Demikian pula, kalau Presiden membuat kebijakan yang merugikan rakyat, tersedia banyak mekanisme politik untuk melawannya; dan perlawanan terakhir dengan tidak memilih kembali Presiden tersebut dalam pemilihan Presiden periode berikutnya; dan sekaligus menghukum partai politik pendukungnya, dengan tidak memilih mereka kembali. Usul saya, jalankan saja UUD 1945 secara konsisten dan konsekwen; dengarkan aspirasi masyarakat luas; berdayakan masyarakat miskin dan marginal; pinggirkan kepentingan pribadi dan kelompok; kedepankan kepentingan nasional; dan wujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia tidak membutuhkan GBHN.

Lembaga tertinggi negara menghambat mekanisme checks and balances.

Kalau GBHN akan dihidupkan kembali, maka MPR akan menjadi lembaga tertinggi negara; dan keputusan MPR tidak bisa di check oleh lembaga negara lainnya, termasuk oleh Mahkamah Konstitusi. Warganegara tidak bisa mengajukan uji materi keputusan MPR terhadap UUD 1945, ke Mahkamah Kostitusi. MPR mendominasi semua lembaga negara lainnya; dan siapa yang menguasai MPR, mereka akan mengendalikan Presiden; DPR; MA; dan MK. Saya memperkirakan, di MPR akan bergabung beberapa partai politik untuk  menguasai MPR, dan dengan demikian mereka akan mengendalikan semua lembaga negara lainnya, seperti yang pernah dilakukan oleh Presiden Suharto di era orde baru. Mereka akan mengendalikan Presiden, dan menjauhkan Presiden RI dari rakyat Indonesia; dan bukan mustahil mereka menggunakan MPR untuk menjatuhkan Presiden. Mereka membajak kedaulatan rakyat untuk kepentingan mereka sendiri, dan hal ini bisa dilakukan atas nama apapun, termasuk atas nama kepentingan rakyat. Mereka adalah oligarki baru; dan oligarki apapun tidak dibutuhkan dalam Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat.

Masih banyak masalah lain yang perlu segera ditanggulangi.

Sekarang ini, Indonesia menghadapi masalah berat yang harus ditanggulangi segera, antara lain: pertama, pola pikir dan perilaku masyarakat kita masih sangat terbelakang, yaitu masyarakat emosional berorientasi status; dan kedua, angka pertumbuhan penduduk Indonesia sangat tinggi.  Pilpres 2019 yang lalu memperlihatkan interaksi masyarakat yang berbeda pilihan Presiden penuh kebencian dan permusuhan; dan sikap seperti ini, kalau tidak segera diperbaiki akan membahayakan keberadaan bangsa dan negara Indonesia. Masyarakat Indonesia harus segera berubah, dari masyarakat emosional berorientasi status menjadi masyarakat rasional berorientasi prestasi. Pertumbuhan penduduk Indonesia yang terlalu tinggi ini sudah menjadi penghalang besar bagi kemajuan Indonesia sekarang ini; dan di kemudian hari nanti, akan berubah menjadi bencana sosial yang sangat sulit ditanggulangi. Kalau ke depan ini, pertumbuhan penduduk Indonesia masih seperti sekarang ini, pada tahun 2060 penduduk Indonesia akan meningkat menjadi sekitar setengah miliar, dan pada tahun 2110 akan meningkat lagi menjadi sekitar satu miliar. Prediksi ini, kalau terjadi, akan membuat kita sulit berpikir; jangankan untuk maju dan berkembang, untuk sekedar tempat tinggal saja sulit membayangkannya.

        Menghadapi dua permasalahan besar ini, saya menawarkan gagasan seperti ini. Sejak sekarang, ke masa depan nanti, peranan dan karir perempuan dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan ditingkatkan dengan cepat, hingga dalam 10 tahun, posisi perempuan dan laki-laki dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan menjadi sama kuat. Perempuan dan laki-laki berbagi sama pekerjaan dan jabatan dalam negara dan masyarakat. Dengan semakin berperannya perempuan dalam lembaga negara dan masyarakat, dapat diharapkan kebencian dan permusuhan dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan akan sangat berkurang, dan kondisi ini kondusif terhadap peningkatan kinerja dan produktifitas masyarakat dan negara. Dan yang lebih penting, banyaknya perempuan yang kerja, berkarir dan berperan di dalam masyarakat dan lembaga negara, akan menurunkan angka kelahiran bayi, dan dengan demikian akan menurunkan angka pertumbuhan penduduk. Kita bisa berharap, pada tahun 2060 jumlah penduduk Indonesia bertahan di sekitar  350 juta sd 400 juta, dan pada tahun 2110 bertahan di sekitar 500 juta dengan angka pertumbuhan nol. Sehubungan dengan pemikiran ini, saya pikir akan lebih baik kalau jumlah menteri perempuan dalam Pemerintahan Presiden Joko Widodo ditingkatkan jumlahnya; dan dalam Pilpres 2024 ada calon Presiden perempuan.

Penulis: [dr. Merphin Panjaitan, M.Si-Penasehat DPP MUKI]

profil
bayu admin
Published at 23 Aug 2019
Bagikan Artikel facebook-icon facebook-icon
Komentar 0

Artikel Lainnya

thumbnail
Djasarmen Purba, S.H: Munas MUKI 2021 Tetap Jalan Walau Ditengah Pandemi
JAKARTA - Tahun 2020 lalu ad...
Selengkapnya 02 Feb 2021
thumbnail
Kemerdekaan Israel Sebuah Perenungan
Kata Israel (bahasa Ibrani:...
Selengkapnya 07 May 2019
thumbnail
Darurat Corona (29 Feb-29 Mar 2020)
Tepat hari ini, Minggu/29 Ma...
Selengkapnya 29 Mar 2020
thumbnail
Sambutan Ketum DPP MUKI dalam FGD MUKI dengan Perguruan Tinggi Negeri Kristen, Virtual Meeting 02 Juli 2021
 Yth. Bapak/Ibu...
Selengkapnya 02 Jul 2021